Raymon Rahmadhani, Sang Pegiat Integrasi Teknologi Pada Pembelajaran di Kalimantan Selatan

Jum'at, 10 April 2020 19:27 WIB   Prodi Pendidikan Bahasa Inggris

Catatan Kecil tentang Seorang Kawan
 
Maraknya pembelajaran online di tengah wabah covid 19 ini, mengingatkan saya pada sosok kawan lama yang saya temui pada gelaran Indonesia Technology-Enhanched Language Learning (iTELL) Conference 2020. Konferensi yang diadakan di sebuah hotel bersejarah yang berseberangan dengan Istana Bogor pada tanggal 22-23 Februari tersebut mengumpulkan para pegiat teknologi dalam pembelajaran bahasa. Raymon Rahmadhani, dialah kawan yang saya maksud, yang pada gelaran tersebut diundang khusus untuk membagi pengalaman dari tanah Borneo.
 
Bercerita apapun dengan Ray, panggilan akrab alumni Prodi Pendidikan Bahasa Inggris angkatan tahun 2002 ini, selalu membuat lupa waktu. Banyak cerita apa saja yang mengalir bahkan kadang random. Talenta jurnalistik yang ia salurkan saat mengelola Progresio Magazine, majalah yang diterbitkan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa Inggris, masih kental terasa. Sedikit berbeda dengan pertemuan kami sebelumnya yang selalu berbau nostalgia saat berjibaku dengan organisasi intra dan cerita menjadi instruktur di Language Center di kampus putih – UMM – kali ini cerita mengalir deras tentang romantika menjadi pendidik di daerah.
 
Mengawali karir sebagai guru Sekolah Dasar (SD) Negeri di Banjarbaru – Kalimantan Selatan, Ray seringkali banyak berdiskusi dengan saya tentang pembelajaran English for Young Learners (EYL). Dibantu oleh sang istri Annisa Ramadhani yang juga alumni Prodi Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun yang sama, ia mencoba mewujudkan pembelajaran Bahasa Inggris yang sesuai dengan tahapan perkembangan holistik siswa SD. Kebetulan Annisa merupakan salah satu generasi awal yang mengambil mata kuliah pilihan EYL. Berbekal ilmu yang cukup, ia menjadi penggerak bahkan trendsetter dalam pembelajaran EYL di daerahnya.
 
Sekembalinya menempuh S2 dalam bidang Linguistik Terapan dari Universitas Negeri di Yogyakarta, ia mendapatkan promosi jabatan sebagai guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota yang sama. Tantangan baru harus dia terima dengan penuh semangat karena ia meyakini bahwa di manapun tempatnya, ia siap mengaplikasikan ilmunya.
 
 “Alhamdulillah selama berkuliah di UMM saya mendapat bekal berharga untuk mengajar. Para dosen mencerahkan saya bahwa mengajar itu tidak hanya bersumber dari textbook, tetapi dapat menggunakan beragam media bersumber dari mana saja. Selain itu kita juga diajarkan untuk memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan,” kenang Ray.
 
Berbagai kegiatan dalam rangka menempa diri dan memberikan ide-ide segar pembelajaran bahasa Inggris telah dilakoninya. Salah satunya menjadi instruktur nasional Guru Pembelajar oleh Kementrian Pendidikan Republik Indonesia, di mana dia diamanahi untuk menjadi seorang yang dapat menjadi penggerak kemajuan dan peningkatan kualitas pendidikan khususnya guru di daerah. 
 
Belum lama ini, ia berkolaborasi dengan beberapa guru se daerah untuk menuangkan pengalamannya menjadi guru di Kalimantan Selatan dalam buku yang bertajuk Rangkaian Cerita dari Ruang-Ruang Kelas di Tanah Borneo. Buku setebal  305  halaman itu tersusun dengan pendampingan dari iTELL.
 
"Saya beruntung punya mentor dari iTELL yang luar biasa, sehingga segala proses penyusunan buku ini saya anggap saja sebagai pembelajaran," tandas putra kelahiran Barabai, 35 tahun lalu ini. 
 
Selama gelaran konferensi yang berlangsung selama dua hari tersebut, saya sungguh terkesima ketika banyak orang yang menyalaminya dan berbincang dengannya dalam konferensi dua tahunan tentang Integrasi teknologi dalam pembelajatan tersebut. Sudah setenar itukah Ray? Saya pun berniat mengikuti sesi presentasinya. Dan, ternyata tidak salah lagi, kawan karib saya ini memang inspiratif. Tanpa lelah mempraktikkan integrasi teknologi di dalam kelas-kelasnya di SMP Negeri 3 Banjarbaru yang saya yakin tidak semua guru mau melakukannya. Semua mata tertuju pada paparan yang ia sampaikan, ditambah dengan dipamerkannya buku yang baru saja ia tuliskan. Di sana ia memaparkan bahwa pembelajaran haruslah menarik, tidak hanya sekedar isinya saja tetapi juga kemasan dari pembelajaran tersebut haruslah dibuat semenarik mungkin bagi peserta didik. Di samping itu, ia juga menyampaikan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan paling tidak beranjak dari dua hal, yakni mengajak peserta didik untuk belajar berfikir dan mengasah keterampilan abad 21 (critical thinking, creativity, collaboration, communication) mereka.  
 
"Menggerakkan hati saya dan teman-teman seperjuangan di daerah memang tidak mudah. Banyak sekali kendala yang saya temui, pun dalam penulisan buku ini. Padahal, isi buku ini dapat menjadi pelajaran betapa dengan berbagai masalah di kelas-kelas yang harus kami selesaikan. Berbeda dengan guru-guru  di luar sana yang dekat dengan berbagai fasilitas tapi seringkali tidak bergerak lebih cepat dalam memberikan pengalaman belajar pada siswa," tutur ayah dari Malik dan ‘Ilma ini. 
 
Masih berlanjut,  saat ini Ray masih berkhidmat pada integrasi teknologi dalam pembelajaran bahasa Inggris, terutama pada saat Belajar dari Rumah dicanangkan akibat meluasnya wabah Covid 19. Ia kombinasikan beberapa platforms seperti Google Classroom,  Zoom, dan media sosial lain seperti WhatsApp dan  Instagram. Ia mengajak siswa untuk mengaitkan pengalaman sehari-hari dengan pembelajaran, sehingga siswa sangat antusias. Ia ingin anak-anak daerah punya karya yang dapat dilihat oleh khalayak. Dan benar, ketika klik #SFHSMP3BJB saya bangga dengan hasil belajar siswanya. Masih ada kekurangan di sana-sini tapi itu sangat wajar.  
 
Saya yakin bahwa apa yang telah dilakukan oleh Ray bukan hal yang mudah, barangkali itu juga yang memotivasi siswanya dalam berproses di kelas-kelasnya. Saya pun setuju bahwa buku yang telah ia publikasikan bersama para guru dari tanah Borneo tersebut adalah perwujudan langkah-langkah panjang dan penuh perjuangan. Terus berkarya kawan, saya angkat topi.(rin/ed_raf)
 
Raymon Ramadhani saat presentasi dalam acara Indonesia Technology-Enhaced Language Learning (iTELL) Conference 2020.
 
 
Salah satu karya Raymon Ramadhani.
Shared: